Saturday, June 28, 2008

Telaah Wacana Paham Pluralisme Agama

Dalam dialog yang ditayangkan di stasiun televisi, canel TVRI yang saya tonton lewat kaca komputer, seorang moderator mengatakan, pluralisme agama di Indonesia merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Moderator tersebut bisa dipandang telah terjerat dan terbawa arus pluralisme yang sedang berkembang dan mengepakkan sayapnya di Indonesia. Sebab dalam ruang pemikirannya tidak lagi dibedakan antara paham pluralisme dan pluralitas, tidak lagi membedakan antara kemajemukan agama dan paham yang menyatakan kebenaran agama bersifat relatif (tidak hanya terdapat pada suatu agama tertentu), dan bisa jadi ia memahami bahwa pluralisme merupakan suatu solusi yang selama ini dinanti-nantikan oleh masyarakat, agar tidak lagi ada sengketa antara satu agama dengan agama yang lainnya.

Paham pluralisme agama khususnya di Indonesia saya tilik hanya dinisbahkan pada agama Islam tidak pada agama-agama lain, dan yang lebih membuat saya aneh adalah, sebagian umat Kristen malah mendukung para aktivis Islam pluralis, mereka seakan tidak memiliki prinsip kebenaran absolut yang seharusnya mereka pelihara dan junjung tinggi, ataukah memang ada udang di balik batu. Ditambah lagi banyak aktivis pluralis muncul dari universitas yang berbasis Islam dan khusus mengkaji ilmu-ilmu Islam (IAIN), mengapa demikian?

Awal pluralisme agama
Yang pertama kali mengusung paham pluralisme agama di Indonesia adalah Prof. Dr. Nurcholis Majid mantan rektor Universitas Paramadina Jakarta. Paparannya tentang paham tersebut terlihat dengan gamblang dalam bukunya ‘Islam Pluralis’ dan paham pluralisme praktis tercermin dalam bukunya ‘Fikih Lintas Agama.

Munculnya paham pluralisme agama secara umum diawali oleh munculnya istilah ‘Islam inklusif’. Istilah ini bukan berasal dari intern Islam, namun teradopsi dari ekstern Islam. Pada abad pertengahan di barat terjadi yang disebut The Dark Ages (zaman kegelapan), dimana Gereja menuntut seluruh doktrin-doktrinnya diterima oleh seluruh masyarakat barat, hingga jika di antara mereka ada yang tidak patuh pada doktrin tersebut, mereka akan mendapatkan hukuman, yang diistilahkan dengan ‘Inquisisi’ (hukuman mati). Ilmuwan terkenal yang terkena hukum inquisisi gereja adalah Galileo Galiley. Hanya karena penemuannya tidak sesuai dengan dogma gereja. Galiley berpendapat bahwa bumi mengelilingi matahari, ketika gereja men-dogma matahari yang mengelilingi bumi (geosentris).

Lalu pada tahun 1962-1965 M. Katolik Roma mengadakan Konsili Vatikan II yang hasil akhirnya adalah perubahan teologi, dari eksklusif menjadi inklusif. Hal ini menurut beberapa pengamat disebabkan oleh dua hal, yang pertama sejarah getir yang penah terjadi di Barat, yang membuat mereka malu akibat kelakuan gereja masa itu, dan yang kedua kerancuan konsep trinitas. Dari Istilah Kristen Inklusif ini munculah istilah Islam Inklusif yang diusung oleh sementara cendikiawan Islam, yang ujung-ujungnya menjerat diri dengan faham pluralisme agama.

Istilah Islam inklusif mengindikasikan adanya Islam eksklusif, padahal dalam ajaran al-Quran, telah diberitahukan adanya eksistensi agama-agama yang lain selain Islam (QS. al-Kafirun: 6) dan perintah untuk berdialog dengan orang yang tidak sefaham dengan Islam firman Allah Swt. وجادلهم بالتي هي احسن oleh sebab itu dalam Islam tidak ada yang disebut dengan itilah Islam Inklusif dan Islam eksklusif.

Pelabelan istilah ‘Islam inklusif’ selain tidak selaras dengan ajaran Islam, juga tidak sealur dengan sejarah sebagai faktor terbentuknya Istilah itu. Islam tidak mengalami sejarah yang membuat masyarakat rigid, vakum dan stagnan sebagaimana Gereja, dan tidak ada problem kerancuan dengan masalah teologi (ketuhanan). Tuhan dalam Islam jelas desebutkan satu, tidak beranak, tidak diperanakan (al-Ikhlas: 1, 3 & 4), ber-ism Allah, berbeda dengan agama Kristen, yang tidak jelas dengan sistem ketuhanan mereka, bahkan tidak ada satupun ayat Bible yang menyebutkan bahwa tuhan Kristen adalah Trinitas.

Merebaknya pluralisme agama
Masyarakat Indonesia secara umum sering disebut sebagai masyarakat yang konsumtif, latah jika ada hal-hal yang baru, bukan hanya dalam pakaian, makanan, namun juga pemikiran. Hal ini yang menjadi salah satu faktor cepat tersebarnya sesuatu yang baru di Indonesia, seperti liberalisme, pluralisme agama, sekulerisme dan Hermeneutika. Mereka tidak melihat dari mana istilah-istilah itu muncul, bagaimana prosesnya dan tanpa mengkaji ulang ‘produktif atau tidak produktif’ ‘positif atau negatif’ ‘konstruktif atau destruktif’. Sikap masyarakat seperti ini yang nampaknya diketahui oleh kristen-barat, hingga hal ini dijadikan lahan empuk untuk menyebarkan doktrin-doktinya dan penghancuran pemikiran umat Islam. Hingga tak hayal beberapa cendikiawan indonesia berfikiran nyeleneh dan menghantam agamanya sendiri.

Universitas IAIN yang notabene sebagai universitas yang berbasis agama Islam dan mempelajari keilmuan Islam malah memberlakukan diktat kuliah yang materinya adalah hasil kajian orientalis barat yang jelas-jelas bertujuan untuk mendestruksi (menghancurkan) Islam. Upaya ini didukung oleh para dosen yang mebiarkan anak didiknya untuk berpikir bebas, hingga saking bebasnya, sebagian mereka tidak lagi mengenal adanya batasan etika dan moral. Seperti yang pernah terjadi di IAIN Jogjakarta beberapa tahun silam, Allah dikatakan sebagai anjing dan pengecut serta mereka mengasumsikan mesti adanya tafsiran-tafsiran baru yang liberal terhadap al-Quran, yakni dengan menggunakan metode hermeneutika. Dosen mereka tidak melarang, namun malah mengatakan ‘biarkan saja, anak-anak kita sedang berwacana’.

Selain itu, IAIN juga menggunakan metodologi para orientalis dalam memandang Islam. Orientalis yang banyak meneliti Islam berasal dari kristen-barat. Nampaknya, sementara cendikiawan muslim Indonesia telah terpengaruh oleh statement pasaran ‘kemajuan metodologi barat’. Statement pasaran ini sebetulnya perlu dikaji ulang, hingga tidak lagi timbul generalisasi dan penyamarataan seluruh metodologi yang berasal dari barat. Kemajuan metodologi barat hemat saya hanya terbatas pada worldview (cara pandang) terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, penelitian ilmiyah dan penemuan, bukan dalam memandang agama. Pandangan barat terhadap agama secara umum masih terpengaruh oleh sejarah pahit yang pernah mereka alami bersama Gereja, hingga mereka cenderung tidak bersahabat dalam memandang agama, yang ujung-ujungnya memunculkan pandangan sekuler, plural dan liberal.

Pluralisme, konteks zaman nabi dan kini
Sebetulnya, upaya mem-pluralisme agama sudah ada sejak masa nabi Muhammad Saw. Dalam sebuah hadits nabi yang diriwayatkan oleh ibnu Abi Hatim diceritakan, bahwa pada suatu hari nabi didatangi oleh pembesar-pembesar Quraisy, mereka mengajak kongsi ibadah dengan beliau, yakni jika beliau bersedia menyembah tuhan mereka, mereka juga akan bersedia menyembah Allah Swt dan berkongsi dalam setiap perkara agama. Hingga turunlah firman Allah surat al-Kafirun.

Ajakan pembesar Quraisy untuk berkongsi ibadah antara agamanya dengan Islam saat itu disebabkan oleh beberapa hal, yaitu Islam saat itu sudah mempunyai banyak penganut, penyebaran ajaran agama Islam sudah tidak dapat dibendung lagi, dan adanya unsur politik Quraisy, yakni dengan ikut sertanya bersama Islam, mereka juga dapat mengepakkan sayapnya ke seantero jazirah arab, bahkan di alam raya dan orang-orang yang sudah menganut agama Islam secara otomatis masuk juga ke dalam agama mereka. Namun nabi Muhammad Saw. dengan petunjuk Allah Swt. Menolak ajakan itu, sebab ada perbedaan yang mendasar antara Islam dan agama mereka, terutama dari sisi teologi. Islam menganut faham monoteis, sedangkan Quraisy mayoritas menyembah berhala.

Saya memandang adanya kemiripan antara kondisi Islam di Zaman nabi Muhammad Saw. dengan Indonesia, di mana umat Islam sudah menjadi mayoritas di banding dengan umat agama yang lain. Pluralisme bertujuan untuk merobohkan akidah umat yang mayoritas itu dan melemahkan spirit juang untuk mengabdi pada Allah Swt. Tuhan yang Hak untuk disembah. Hanya saja, dulu yang terang-terangan menggembor-gemborkan ajakan pluralisme adalah pembesar Quraisy, sedang saat ini yang menggembor-gemborkan semangat berpluralisme adalah umat Islam sendiri. Ini berarti Non Muslim sudah lebih maju dalam mempropagandakan pluralisme.

Harus diketahui bahwa paham pluralisme agama telah merebak di Indonesia, dan telah ditumbuhkembangkan oleh sebagian sarjana-sarjana lulusan barat dan lulusan IAIN. Saya tidak menggeneralisir seluruh sarjana barat, sebab di antara mereka ada yang berfikiran lurus dan ikut serta dalam mebasmi virus-virus liberalisme dan pluralisme agama, seperti Dr. Syamsuddin Arif, MA.

Dan yang lebih penting adalah upaya pembendungan faham ini agar tidak menjalar sampai ke generasi umat selanjutnya, dengan pembentukan kader-kader umat yang betul-betul lurus akidahnya. Wallahu a’lam bishawab

No comments: